Rabu, 05 Februari 2014

LUKISAN KATA MAAF, DI LANGIT SENJA WATAMPONE


Langit suram menyambut kedatanganku di bumi aru palakka. Hari itu, saya memutuskan untuk berangkat bersama dua orang temanku. Yah salah satu dari mereka, adalah pemuda asli kota ini, hanya saja rumahnya sangat jauh dari lokasi survey yang di rekomendasikan padaku. tempat menginap, makan dan bagaimana mencari data, itulah yang selalu terngiang di benakku selama perjalanan hari itu. Bahkan kondisi buruk mulai menghantui pikiranku, tapi selalu saja kucoba untuk menepis semuanya.
15.30 wita, kota watampone menyambutku, yah masih dengan langit suramnya. Saat itu pula, aku berpisah dengan kedua temanku yang juga bergegas ke lokasi survey mereka masing-masing. Kami para seurveyor yang berjumlah 44 orang, memang tak ada yang satu lokasi. Masing-masing memiliki lokasi desa/lurahnya sendiri. Seperti di kabupaten bone, ada sepuluh desa yang menjadi tujuan kami, dengan sepuluh surveyor tapi semuanya berbeda desa bahkan berbeda kecamatan.
Kurebahkan tubuhku di pelataran masjid, kupandangi langit-langit masjid setelah usai mendirikan shalat ashar. Terpikir olehku, mungkin disini sajalah nantinya aku menginap. Lalu perlahan ku amati map yang berisi lembaran kertas kuesioner, dan kulirik jam di dinding masjid. Waktu masih menunjukkan jam 15.40 wita, sepertinya masih ada sedikit waktu untukku mulai mencari data di kelurahan sebelum jam kerja habis.
Seketika itu juga aku bergegas, mencari alamat kantor kelurahan berharap bisa bertemu pak lurah dan meminta data warganya. Setidaknya esok hari, aku bisa langsung mewawancarai warga yang terpilih acak. Tapi alhasil, di kelurahan tak ada siapapun. Harapanku mendapat data hari itu, pupus. Aku memutuskan kembali ke masjid tadi, membersihkan diri dan mencari pengisi perut.
Kota yang begitu asing bagiku, tapi tak sulit mencari tempat makan. Karna lokasiku ini merupakan ibukota kabupaten. Sungguh nikmat sekali rasanya menyantap makanan hari itu, bukan karna makanannya mewah tapi karna inilah makanan pertama yang kusantap dari hasil keringatku sendiri. Di rumah makan itu, ternyata ada fasilitas wifi-nya. Kuputuskan untuk online facebook sejenak, sekedar mencari tau bagaimana keadaan teman-teman lainnya di daerahnya masing-masing. Tapi tak ada satupun status dari mereka yang kudapati tentang keadaannya. Ah mungkin saja di lokasi mereka tak ada wifi, atau mungkin saja mereka sedang beristirahat.
Jam 21.00 penjaga warung memperingatiku kalo warung akan tutup. Aku akhirnya memutuskan kembali ke masjid tadi, untuk beristirahat sambil menunggu fajar datang. Kurebahkan tubuhku di lantai masjid, setidaknya di masjid  lumayan hangat dan nyaman. Tapi baru saja hendak memejamkan mata, seorang laki-laki paruh baya menghampiriku dan memberitahuku kalau di masjid ini, orang di larang tidur. Aku jadi heran, kenapa ada saja peraturan seperti itu. Bukankah masjid adalah tempat umum, bahkan tempat bagi para mushafir beristirahat. Tanpa berpikir panjang, aku bergegas keluar ke teras masjid.
Akhirnya malam itu, aku tidur di teras masjid. Dinginnya malam dan kelip bintang menemani tubuhku yang kelelahan. Tiba-tiba saja aku teringat pada ayah dan ibuku di kampung.
“ibu, malam ini bintang begitu indah berkelip, dingin begitu menyeruak tapi tak menyakiti. Nyamuk pun tak lelah berdendang. Aku sendiri tanpa teman, namun aku tak merasa kesepian. Ibu, maaf jika tak memberitahumu tentang jalanku ini, aku takut kau khawatir denganku dan melarangku. Ini bukanlah pekerjaan yang hina ibu, setidaknya aku masih bisa mencari sesuap nasi dengan tenagaku sendiri. Tidak seperti kebanyakan yang hanya bisa meminta dan meminta. Aku tau ibu, tujuanku di kota Makassar adalah untuk kuliah, tapi taukah kau ibu, ada banyak waktu senggang yang bisa ku gunakan untuk mencari tau tentang kehidupan yang sebenarnya. Ayah, hari ini aku baru menyadari betapa sulitnya kau mencari nafkah untuk keluargamu. Berjejal dengan waktu dan keadaan yang terkadang tak sesuai keinginan”
Malam semakin dingin, kudekap tasku erat sekedar menambah kehangatan. Tiba-tiba saja kurasakan senyuman ayah dan ibuku dari kejauhan. Hingga aku terlelap dalam tidurku.
***
Langit cerah, menemani hariku saat itu. Sepertinya cuaca bersahabat denganku. Setelah mandi, aku bergegas kembali ke kantor kelurahan mengambil data. Jam sudah menunjuk ke angka 9 lewat tapi belum satupun staf yang ada di kantor. Budaya birokrasi yang sudah mendarah daging, yaitu terlambat. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya beberapa staf mulai berdatangan, dan salah seorang dari mereka kemudian memberiku data yang kuinginkan. Setelah mendapatkan data kepala keluarga yang harus ku wawancari, aku kemudian bergegas mencari alamat mereka.
Sangat bervariasi orang yang kuwawancarai hari itu. Ada seorang kakek yang tidak tau berbahasa Indonesia, sedangkan aku yang juga tak tau bahasa bugis. Untung saja ada anaknya yang bisa membantuku menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan. Ada pula ibu paruh baya yang pendengarannya terganggu, alhasil aku harus bertanya dengan suara yang keras agar dia bisa mendengarnya. Beberapa responden juga ada acuh padaku. sepertinya di mata mereka, aku ini tak lebih dari pencari data yang tak sepintar mereka. Tapi tak apa, aku tetap bersemangat mengerjakan itu semua.
Siang menjelang sore, aku memutuskan kembali ke masjid tempatku beristirahat. Tapi kemampuan ingatanku untuk menghafal jalan terganggu, sampai akhirnya aku di tilang polisi karna melewati jalur yang salah. 100 ribu rupiah berpindah ke tangan polisi. Hufft, seharusnya dia mengerti padaku yang tidak tau jalan, tapi yah begitulah cara orang mencari makan yang berbeda-beda. Mungkin saja uang itu untuk makan atau jajan anaknya. Tak apalah menurutku, yang penting aku masih bisa melanjutkan pekerjaanku itu.
***
Malam kedua di bumi aru palakka, aku kembali merebahkan tubuhku di teras masjid. Tapi entah kenapa aku mulai gelisah dan tak bisa memejamkan mata. Akhirnya aku mengirim pesan pada salah seorang teman kelasku yang juga orang bone, mungkin saja dia punya teman yang ada di lokasi surveiku saat itu. Tak lama kemudian, ARISPAN teman dari temanku datang menjemputku dan mengajakku ke rumah kosnya yang tak begitu jauh dari tempatku. Akhirnya malam itu, aku bisa tidur dengan nyenyak.
Keesokan harinya, kembali aku memulai pekerjaan yang kemarin sedikit tertunda. Satu persatu rumah responden kudatangi, mewawancarai mereka. hingga senja menghampiri, pekerjaanku pun selesai. Dan saat itu pula aku memutuskan kembali ke Makassar namun mampir dulu di tempat armand, Libureng.
Sejenak kutatap senja di kota ini, merah jingganya begitu merona. Pasti ku akan sangat rindu padanya. Aku mulai tersadar, bahwa bukan seberapa banyak honor yang akan kudapatkan dari pekerjaanku ini. Tapi ada banyak hal yang begitu berharga yang mungkin tak bisa kudapatkan di waktu yang lain. Bertemu dengan orang-orang baru, mencoba memahami karakter mereka agar mereka bersedia di wawancarai. Dingin malam, di tempat asing, tanpa tempat tinggal dan tanpa teman. Bukankan di luar sana banyak saudara kita yang bernasib sama.
Aku sadar, bagaimana perjuangan orang tua mencari makan dan biaya pendidikan yang layak bagiku bukanlah hal mudah. Mereka yang menfasilitasiku dengan sepeda motor, terkadang aku mengeluh dengan kondisi sepeda motorku yang tidak bagus lagi. Lampunya yang selalu tak berfungsi. Aku yang selalu memaksa dikirimi uang untuk membeli baju yang bagus, hp yang bagus, laptop dan semuanya. Tapi senja hari itu, memberitahuku, bahwa hidup ini tak semudah ketika kau meminta.
Ayah dan ibu, ingin rasanya langit senja hari itu melukiskan kata maafku padamu. Kata maaf karna tak pernah menyadari bahwa senyum dan kata meng”iya’kan setiap permintaanku sungguh tak mudah. Ayah, ibu kalian tetap yang terindah di dalam hatiku, selalu dan selamanya.
Senja itu pun menghantar perjalanan pulangku ke kota daeng, Makassar. Aku pulang membawa senyuman, membawa cerita dan menyimpan rindu pada ayah, ibu dan senja di bumi watampone.

Makassar, januari 2014

KUPU-KUPU HITAM UNTUK HAYRAN


Embun pagi menetes di telapak tangan hayran pagi itu, terasa dingin namun tak membuat hayran bergegas dari tempatnya berdiri. Dia tetap saja menengadahkan tangannya ke langit, seakan dia meminta sesuatu dari langit. Yah itu adalah aktivitas rutinnya setiap pagi. Di pagi buta dia bergegas bangun dan berlari menuju taman di halaman belakang sambil menengadahkan tangannya ke langit. Dan setiap pagi itu pula dia memakai baju ungu yang dua tahun lalu diberi oleh ayahnya. Baginya aktivitas wajib setiap pagi bukanlah menggosok gigi ataupun sarapan tapi berlari ke taman, menengadahkan tangan dan berputar menyisir taman. Berpindah dari sudut yang satu ke sudut yang lain. Berharap dia dapat menemukan keinginannya.
Sejak ayahnya meninggal karna leukimia dua tahun lalu, sejak itu pula hayran melewati paginya dengan aktivitas itu, berharap apa yang dia inginkan bisa hadir di pagi itu.
“ucapkanlah setiap keinginanmu di malam hari setiap kali kau akan tidur, dan yakinlah di pagi hari keinginanmu akan terkabul”, kata-kata sang ayah selalu menjadi landasan aktivitasnya itu . Kadang dia berpikir bahwa maksud sang ayah agar dapat tidur lebih cepat dan bangun lebih cepat pula. Tapi dia berpikir bahwa tak semestinya sang ayah memberinya pesan yang sebenarnya lebih pantas untuk anak usia delapan tahun ke bawah. Sedangkan dirinya yang sudah menginjak dua puluh tahun, menganggap itu adalah kenyataan.
Pernah suatu ketika di malam hari ketika dia akan tertidur, dia meminta agar esok harinya dosen mata kuliah hukum perdatanya tak mesti hadir, karna dia ingin berjalan-jalan bersama ayahnya ke salah satu objek wisata di kotanya yang terkenal dengan keindahan kupu-kupunya. Yah bantimurung, setiapa sebulan sekali sang ayah selalu mengajaknya ketempat itu. Alhasil ke esokan harinya sang dosen tak hadir karna mengalami kecelakaan tragis yang mengakibatnya nyawa hilang. Ternyata bukan hari itu saja sang dosen tak masuk tapi untuk hari-hari selanjutnya.
Hayran tak merasa berkabung, justru dia merasa senang karna hari itu adalah hari terakhir di bulan mei dan hampir saja hari di bulan mei habis tapi dia tak sempat ke bantimurung. Padahal dia telah menulis dalam agendanya bahwa sebulan sekali dia wajib ke tempat itu bersama sang ayah. Memandangi kupu-kupu sambil mendengarkan alunan melodi biola yang dimainkan oleh sang ayah.
“non hayran sarapannya sudah siap, apa mau di makan sekarang. Takutnya nasi gorengnya dingin”, teriakan pembantu membuyarkan lamunannya.
“iya, amma. Saya segera kesana”
Dia berjalan perlahan memasuki rumah, di ruang tengah tepatnya di meja makan telah tersedia sepiring nasi goreng dan segelas susu. Dia menyantapnya dengan perlahan. Tak lama kenudian muncul seorang perempuan paruh baya duduk tepat di depannya.
“hari ini tidak ada kuliah ? bagaimana organisasinya, apakah kegiatan yang ingin kau buat lagi”, perempuan paruh baya itu mulai bicara. Perempuan itu adalah bundanya, seorang anggota parlemen di ibu kota provinsinya. Namanya cukup terkenal dimana-mana sebagai aktivis perempuan yang gentol menyuarakan suara-suara perempuan yang terdiskriminasi.
“ada bunda, setelah sarapan hayran siap-siap. Untuk kegiatan, hayran ingin membuat pelatihan cara bermain biola. Supaya perempuan-perempuan juga punya jiwa seni bunda”, ucapnya dengan penuh semangat.
“bermain biola ?, organisasimu itu bergerak di bidang pendampingan masalah-masalah perempuan. Bukan jamannya lagi kita berseni tapi memperhatikan nasib perempuan-perempuan di wilayah kita “
Hayran di percaya ibunya bergabung di sebuah organisasi perempuan yang cukup terkenal di wilayahnya. Sebenarnya organisasi ini tak hanya bergerak di pendampingan saja tapi juga pemberdayaan jadi tak masalah jika hayran sebagai salah satu anggotanya menginginkan hal itu.
Dia memang gadis yang dikenal enerjik dan berkarisma. Kemampuannya berkomunikasi dengan baik dan santun diakui banyak orang. Kecerdasannya yang mampu berteori tentang masalah-masalah perempuan pun tak diragukan bahkan kecantikan yang menurun dari bundanya membuat banyak lak-laki yang tertarik padanya. Tapi tak satupun yang hayran hiraukan. Baginya laki-laki yang baik hanyalah ayahnya.
“tapi bunda bukankah dengan seni justru perempuan-perempuan bisa lebih berkarya lagi. Mereka bisa di kenal dengan karyanya. Dari pada melakukan aksi demonstrasi, mendampingi perempuan yang berkasus. Banyak juga bunda yang mereka sendiri yang salah, mereka mengalami pelecehan karna terlalu larut malam pulangnya. Atau berpakaian terlalu seksi, atau memakai aksesoris terlalu mencolok, atau meladeni laki-laki tanpa batas, atau…….
“atau apa lagi, ha ??? sekarang yang penting adalah nama…nama… kau harus rajin melakukan pendampingan agar namamu bisa masuk media. Dan itu cikal bakal kau bisa duduk di parlemen. Bukan berdiam diri di taman sambil menggesek biola yang tidak memberikan keuntungan apa-apa”, tegas bundanya memotong pendapatnya
Hayran tertunduk dan menghentikan suapannya. Sang bunda pun demikian dan berdiri meninggalkan meja makan. Meninggalkan hayran tanpa menyapa. Meninggalkan pendapat hayran yang belum selesai.
“seni juga menguntungkan bunda, dia mampu menyejukkan jiwa. Karna seni hanya mampu di rasakan oleh hati bukan oleh pikiran bunda, itu kata ayah”, ucapnya sambil meneteskkan air mata, sekalipun sang bunda tak lagi ada di hadapnnya.
Dia pun berdiri meninggalkan kursi tempatnya duduk dan menuju kamarnya di lantai atas. Di raihnya biola pemberian ayahnya dan bergegas ke taman belakang.
If tomorrow never come”, lagu yang selalu dimainkan dengan biolanya. Setiap kali dia memainkan biolanya, dia membayangkan sedang berada di sebuah taman yang di penuhi ribuan tangkai bunga melati, kupu-kupu beterbangan kesana kemari. Seakan taman itu hanya miliknya dan ayahnya.
Tiba-tiba dawai biolanya putus, membuat lamunannya buyar. Dia tersentak dan terkejut, dia menangis, dia kecewa. Tiba-tiba sosok bundanya muncul lagi menghapus bayangan ayahnya.
“bunda tak suka kau bermain biola, bukankah kau harus kuliah. Kau harus menyelesaikan sarjana hukummu. Itu bisa jadi loncatanmu lagi untuk berkarir. Lihatlah bunda, semua yang bunda lakukan untuk kita. Bunda tak mau orang mencemooh kita dan menganggap kita tak mampu hidup setelah ayahmu meninggal tanpa mewariskan apa-apa”, nada bundanya mulai meninggi.
“tapi ayah mewariskan dalam darahku jiwa seni bunda, hayran sudah lelah dengan aktivitas seperti itu. Untuk apa hayran berguna dan menenangkan hati orang lain jika hayran sendiri tak mampu untuk itu bunda”.
“hayran, dulu di usia sepertimu bunda tak mampu berkarir sepertimu karna keterbatasan ekonomi. Dan sekarang bunda ingin kamu tetap berkarir dan membuat nama,,.,nama,,nama dimana-mana. Bunda sayang hayran”
Hayran menatap menjurus kearah bundanya
“tapi hayran tak sayang sama bunda”, ucapanya lirih, dia kemudian berlari sambil memegang biolanya menjauhi bundanya. Menyetop sebuah taksi di depan rumahnya. Menunjukkan jalan pada sopir ke arah taman itu. Bantimurung
Bantimurung masih terlihat ramai di siang itu, gerombolan pengunjung memadati di setiap sudutnya. Hayran berjalan pelan ke arah sebuah tebing yang sepi di atas aliran air terjun. Dia berdiri tepaku menengadahkan tangannya ke langit. Untuk kesekian kalinya di mengucapkan permintaan yang setiap malam dia ucapkan dan setiap pagi dia menunggu untuk dikabulkan sejak dua tahun lalu.  Dia berucap lirih.
“ayah, kirimkan padaku kupu-kupu hitam yang pernah hinggap di biola ayah sebelum ayah pergi”.
Seekor kupu-kupu hitam berwarna hitam pekat menghampiri tangannya, dan kemudian terbang ke arah puncak tebing. Hayran mengikutinya, terus..dan terus sambil berlari pelan. Menembus semua asa yang pernah di rajutnya, menembus semua waktu yang telah dilaluinya, menembus semua langkah yang telah di jejakinya dan menembus semua rasa yang telah di resapinya.
Kupu-kupu itu berhenti di tepi bukit dan terbang ke bawah mengikuti aliran air terjun bantimurung dan hayran pun mengikutinya. Dia serasa terbang sambil mengepakkan sayapnya, terbang bersama kupu-kupu hitam yang menghinggapinya. Meninggalkan biola yang sudah tak berdawai lagi. Meninggalkan mimpi-mimpi bundanya. Meninggalkan program kerja organisasinya. Meninggalkan hidangan yang setiap hari disuguhkan pembantunya. Meninggalkan perempuan-perempuan korban pelecehan. Meninggalkan rasa cinta laki-laki yang tak pernah dia hiraukan. Meninggalkan semuanya. Dia hanya yakin bahwa dia akan bersama kembali dengan ayahnya di taman dan bermain biola melantunkan lagu if tomorrow never come bersama.
****
Keesokan harinya sebuah mayat di temukan terapung di kolam aliran air terjun bantimurung. Mayat itu terlihat bersih. Mayat itu tersenyum. Mayat itu dikerumuni kupu-kupu, karna mayat itu adalah hayran.

Bulukumba, Oktober 2012

AKU, DIA DAN MEREKA


Aku terdiam tak mampu bicara ketika kata-kata dari mulutnya mulai masuk mengalir ke gendang telingaku bahkan menembus saraf sensorik ku sehingga membuatku terpaku. Tak pernah kubayangkan dia mengucapkannya, tepat dihadapanku setelah sekian lama kami berjuang bersama. Apakah aku yang terlalu banyak ingin tau dan bertanya sehingga membuatnya harus mengeluarkan kata-kata itu.
Lama kutertunduk dihadapannya, berusaha mengolah kata-kata itu, aku ingin kata-kata itu hanya sampai ditelinga dan sarafku saja tapi entah kenapa kata-kata itu masuk menembus hati, jantung bahkan paru-paruku yang membuatku sulit untuk bernafas beberapa detik. Apakah aku yang terlalu banyak ingin tau dan bertanya sehingga membuatnya harus mengeluarkan kata-kata itu.
Dia bergegas memasukkan buku ke dalam tas ranselnya, dan pergi dengan tergopoh-gopoh tanpa menghiraukanku. Tanpa bertanya tentang bagaimana perasaanku setelah mendengar kata-katanya. Bahkan tanpa meminta izin dariku.Apakah aku yang terlalu banyak ingin tau dan bertanya sehingga membuatnya harus mengeluarkan kata-kata itu.
“maaf kanda, semua peserta sudah berkumpul. Silahkan masuk ke forum dan memulai ceramahnya”, tiba-tiba seseorang memegang pundakku dan menghentikan tatapanku ke arahnya.
“iya, sebentar lagi saya akan masuk. Siapkan saja air minumnya yah”
“kalau rokok kanda, rokok apa ?”
“classmild saja dan cukup sebungkus”, aku mulai mencoba untuk melupakan kata-kata itu agar dapat konsentrasi membawakan ceramah.
Aku bukan tergolong perokok berat tapi entah kenapa aku tak mampu berceramah tanpa menghisap rokok. Dua bahkan tiga bungkus tak cukup untukku berceramah selama dua jam, tapi hari ini aku mencoba lebih irit. Karna kondisi panitia training yang memiliki banyak beban finansial yang harus di tanggung.
Aku berjalan dengan santai memasuki ruangan, memulai ceramah dengan syahadat dan shalawat tapi tidak memperkenalkan diri. Kebiasaanku memang yang memperkenalkan diri di akhir ceramah. Aku hanya tak ingin peserta konsentrasi atau tidak pada ceramahku hanya karna aku ini siapa.
“baik kawan-kawan pada kesempatan ini saya akan membawakan ceramah KEMERDEKAAN DAN KEHARUSAN UNIVERSAL, Jadi selama saya berceramah jika teman-teman ingin bertanya langsung saja yah. Mari kita berdiskusi. Sepakat ?”
“sepakat kanda,”suara riuh terdengar ke penjuru ruangan training.
Kemerdekaan dan keharusan universal. Suatu sub materi yang sebenarnya tak mudah di jadikan bahan ceramah. Apalagi berbicara kemerdekaan, mengerti tentang teori mungkin saja tapi mengaplikasikannya pastilah sulit. Ah bukan sulit tapi tak bisa, inilah yang berlaku dalam lembaga ku geluti.
Haruskah mengikuti kaum jabariah yang menganggap kebebasan itu tidak ada yang ada hanyalah takdir. Atau mungkin memilih kaum mu’tazillah yang mengingkari takdir karna menganggap manusia telah dibekali akal dan kekuatan. Tidak kedua-duanya menurutku, karna ada takdir dan ikhtiar dalam hidup ini. Sedangkan takdir pun ada takdir taqwini yakni takdir yang menggariskan manusia memilki jodoh, reski bahkan kematian. Sedangkan takdir tasyrii yakni takdir yang menggariskan manusia memilki kebebasan mencari siapa jodohnya, berapa banyak reskinya dan bagaiman kematiannya. Taqwini adalah keharusan sedangkan tasyrii adalah kemerdekaan. Ini menurut pemahamanku.
Dua jam berlalu, aku menghentikan ceramahku sekalipun pembahasan belum selesai. Pembahasan tentang manusia memang tak pernah selesai dibicarakan. Tiba-tiba kata-kata itu kembali merongrong memoriku, kenapa ia tidak saja bertengger di gendang telingaku. Kenapa harus memasuki seluruh tubuhku. Apakah aku yang terlalu banyak ingin tau dan bertanya sehingga membuatnya harus mengeluarkan kata-kata itu.
****
aku berjalan meninggalkan ruangan training, meninggalkan peserta yang masih terlihat kebingungan. Mungkin mereka tak mampu memahami kata-kata ilmiah yang ku ucapkan ataukah penasaran pada sosok ku yang tak sempat memperkenalkan diri. Bukankah itu tak penting.
Aku kembali merebahkan tubuhku ke sofa yang tadi ku duduki ketika dia mengeluarkan kata-kataku itu. Kenangan tentangnya mulai menghinggapi lamunanku.
Perempuan ini memang cukup cerdas dan energik bagiku, walaupun aku baru saja mengenalnya ketika harus berpasangan pada lembaga ini. Memang ada keharusan secara de facto dan de jure adanya keterwakilan perempuan pada lembaga. Yah aku juga menganggapnya berguna bahkan sangat berguna. Mereka mampu berdiri brdampingan dengan kami lelaki setiap momen apapun, berbicara tentang masa depan dan kepentingan. Walaupun kadang aku menginginkan mereka cukup menjadi seksi pendanaan, konsumsi atau kesehatan. Tapi tidak, mereka betul-betul melampaui hal itu bahkan melampaui kami yang membuat mereka lebih terima dalam kancah dinamika organisasi. Mungkin benar kata saciko murata bahwa kelembutan perempuan merupakan kekuatannya.
Hanya saja ada yang tak biasa dalam lembaga ini, kami lelaki harus bertikai yang pada akhirnya menghasilkan dua garis struktural. Entah siapa yang ingin membuat dinasti baru, tapi mereka tidak. Mereka tetap satu dan aku bersyukur mereka memilihku dari awal. Kami bersama mereka berusaha menembus caci maki dan cercaan senior-senior dan pihak lawan, untuk membuktikan eksistensi kami. Bahwa kami lebih baik dari mereka. Bahwa kami lebih selaras dan saling memahami.
Namun seminggu yang lalu kepergiannya ke pertemuan itu membuat semua nampak berubah. Memang aku tak mengizinkannya pergi bukan karna keterbatasan finansial tapi karna aku tak ingin dia mengetahui ketakutanku, mengetahui apa yang ku sembunyikan pada mereka dan dia. Aku ingin mereka dan dia tau pada saat kami nantinya tercepit dan tak punya lagi harapan. Karna saat ini kami masih punya harapan, walaupun hanya sedikit yang mungkin sebentar akan hilang juga. Ah.........
Untuk itulah beberap jam lalu aku memberanikan dirinya bertanya pada dia tentang semua informasi yang dia dapatkan.
“ jadi hasil apa yang kau dapatkan dari sana ?”, aku mulai bertanya dengan nada yang rendah
“untuk kami sudah tidak ada masalah kanda, bagaimana dengan kanda sendiri ? kenapa tidak pernah memceritakan pada kami tentang semua ini ?”
“Tentang apa ?”
Akhirnya dia menceritakan dengan detil semua informasi yang dia dapatkan. Dan aku akui tak ada yang salah.
“lalu apa yang kanda akan lakukan ?”, dia mulai menatapku menjurus sambil berbicara dengan gayanya yang biasa.
“aku tak tau harus bagaimana lagi ? sepertinya sudah tidak ada lagi jalan karna mereka sepertinya tak meninginkan kita”
“kita ???kalian kanda”
“lalu bagaimana denganmu, apakah kau atau kalian akan tetap berjuang bersama aku dan kami ?”
“haruskah aku menjawabnya sekarang?”
“iya”
Beberapa menit dia terdiam, aku hanya mengatakan dia karna hanya dia yang ada dihadapanku kali ini. Tapi aku tau dia adalah wakil dari mereka.
“jika berbicara tentang janji dan kesetiaan, aku tak mungkin mengingkarinya. Tapi janji dan kesetian itu adalah pribadiku bukan kami. Jadi maafkanlah aku tak bisa menetapi janji dan tetap setia padamu dan kalian karna lembaga ini bukan milikku pribadi tapi milik kami. Kami tak ingin berhenti berjuang sampai disini jika nantinya kau dan kalian terputus perjuangannya karna keterikatan konstitusi. Maaf kanda”,ucapnya lirih dengan mata yang berkaca.
Aku tak boleh komplain dengan kata-katanya, bukankah ini adalah aplikasi dari kemerdekaannya untuk memilih yang terbaik bagi masa depan mereka, dan merupakan keharusan mereka untuk tetap tunduk pada garis konstitusi.
Serasa ada ombak yang menerjang istana pasir yang telah kubangun untuknya dan mereka. Sebentar lagi istana itu rampung, tinggal pagar berhias bintang laut yang belum di buat. Kenapa mereka tidak menunggu istana itu rampung. Ah bukan mereka yang tak bisa menunggu tapi karna waktu yang menghendaki mereka untuk tidak menunggu.
Dia bergegas memasukkan buku ke dalam tas ranselnya, dan pergi dengan tergopoh-gopoh tanpa menghiraukanku. Tanpa bertanya tentang bagaimana perasaanku setelah mendengar kata-katanya. Bahkan tanpa meminta izin dariku.Apakah aku yang terlalu banyak ingin tau dan bertanya sehingga membuatnya harus mengeluarkan kata-kata itu.


Bogor, 2012

TERLAMBAT


02:58
Kring...kring...
“kapan pulangnya ?”
“yah, setelah shalat subuh, aku akan bergegas pulang”
“baiklah, aku menunggumu. Bukankah kau telah berjanji menemaniku mengunjungi taman. Aku tidak ingin kau terlambat karna aku ingin menyampaikan sesuatu padamu”
“iya, akan ku usahakan”
Selalu saja dia mengganggu aktivitasku, setiap jam menelponku dan ketika aku harus keluar kota dia pasti selalu menghubungiku hanya untuk bertanya “kapan pulang”, aku sepertinya mulai merasa jenuh padanya. Aku yang dulunya bebas tanpa beban, tanpa ada yang komplain dengan penampilanku, menghabisi limit pulsa ponselku bahkan memaksaku mengantarnya kesana kemari. Bahkan untuk hal-hal yang tidak penting.

Aoooommmmm, kantuk masih menyerangku. Waktu memang baru menunjukkan pukul 03:00 subuh, tapi karna telpon darinya membuatku terbangun. Dia memang tak kenal waktu dan keadaan ketika menghubungiku walaupun hanya sekedar tau keadaanku. Dan akupun kembali melanjutkan tidurku.
***
05:00
Aku terbangun dan bergegas bebenah diri untuk mencari angkutan kembali ke kota makassar, jeneponto-makassar memang hanya berjarak dua jam perjalanan. Cukup bagiku untuk kembali tertidur di perjalanan.
Kring...kring...kring..
“yah halo”
“sudah dimana ?”
“aku sementara menunggu angkutan umum”
“oh iya, aku tidak ingin kau terlambat”
Hufft betul-betul mengusikku. Sudah sejam lamanya aku berdiri di tepi jalan tapi tak kunjung angkutan muncul. Aku mulai berpikir kenapa harus selalu menuruti keinginannya. Bukankah Lebih baik aku kembali ke penginapan dan meneruskan tidurku. Hari ini aku tidak punya agenda mendesak di makassar. Lebih baik aku beristirahat dulu karna di makassar aku harus sibuk mengurusi lembaga dan dia.
***
10:00 wita
Kring...kring.kring
“yah halo”
“kenapa kau belum tiba ?”
“subuh tadi tak ada satupun angkutan yang lewat, aku lelah berdiri di tepi jalan. Makanya aku kembali ke penginapan dan menunda untuk pulang.”
“jadi, kapan kau pulang ?”
“iya, sekarang aku mau siap-siap lagi”
“baiklah, aku hanya tak ingin kau terlambat”
Aku kembali meraih tas ransel milikku. Dan berjalan meninggalkan penginapan. Tapi tiba-tiba di tengah perjalanan aku bertemu teman lamaku.
“mau kemana saudara ?” dia menyapaku.
Sudah lama aku tak bertemu dengannya. Dia adalah temanku di salah satu organisasi mahasiswa yang katanya keras memperjuangkan aspirasi rakyat, bahkan melakukan pendampingan kepada warga yang terkena panggusuran. Tapi berjalan lama kami berdua meninggalkan organisasi itu setelah kami tau bahwa pemimpin kami sudah terjerat pragmatisme. Dia memilih kembali ke daerahnya, membentuk kelompok diskusi mingguan dan aku pun memilih bergabung di lembaga politik.
“aku ingin kembali ke makassar”
“jangan dulu saudara, aku ingin mengajakmu ke rumah saya, bukankah sudah lama kita tak bertemu dan berbincang-bincang”
“baiklah”, dengan mudahnya aku menerima ajakannya.
Aku disuguhi coto dan gantala kuda, makanan khas jeneponto. Aku begitu menikmatinya, tanpa menghiraukan dia di makassar. Ah untuk apa aku harus memikirkannya, bukankah di hadapanku sementara tersaji makanan kesukaanku. Menurut warga setempat coto kuda dapat menambah stamina pria.
***
15:00 wita
Kring...kring...kring...
“yah halo”
“dimana ?, kenapa kau belum tiba ?”
“tadi aku bertemu dengan teman lamaku, aku tidak enak menolak ajakannya. Tapi sekarang aku siap-siap untuk berangkat”
“baiklah, aku Cuma tak ingin kau terlambat karna hari sudah sore.”
“iya”
Dia yang selalu mengusikku, sosok perempuan manis yang menemani hari-hariku sejak dua tahun yang lalu. Pertemuan kami begitu indah menurutku. dua tahun yang lalu aku bertemu dengannya di sebuah taman, saat itu dia sedang duduk sendiri di bangku taman sambil menangis. Entah apa yang terjadi padanya malam itu, tapi aku benar-benar mencemaskannya dan menghampirinya.
“bolehkah aku duduk di sini ?”
Dia terkejut melihatku, menghampirinya. Sambil menyeka air matanya, di mengangguk mengisyaratkan rasa setujunya padaku.
“kenapa kau menangis ?”
“kenapa kau menanyaiku, kamu siapa “
“oh, maaf bukannya aku ingin mencampuri urusanmu. Tapi aku paling tidak bisa melihat seorang perempuan menangis. Mungkinkah kau bisa berbagi tangisanmu denganku. Maksudku, ceritamu denganku “
“apakah kau ingin menjadi raja ?”
“maksudnya ?”
“jika ada seseorang yang memintamu menjadi raja sebuah negeri, tapi setelah  menjadi raja ternyata bukan kau penguasa sebenarnya. Justru orang yang memintamu menjadi raja yang menjadi penguasanya. Semua pilihan, kebijakan harus sesuai persetujuannya bahkan dia lah yang berhak memutuskan tapi melalui dirimu”
“menjadi raja bukanlah hal mudah, banyak keuntungan yang bisa kita dapatkan. Banyak orang yang segan dan menghormati kita. Lalu untuk apa aku menolaknya”
“tapi bagaimana ketika dia memintamu untuk mengeluarkan sebuah aturan  justru akan mengusik ketenangan rakyatmu ? memintamu memilih sesuatu berdasarkan ego keuntungan pribadi, bukan untuk rakyatmu. Masihkah kau memilih menjadi raja ?”
Aku terdiam tak bisa bicara, sungguh pertanyaan yang tak mampu jawab
“dan ketika kau bersikeras untuk tak menghiraukannya lagi, justru dia berbalik berusaha menumbangkan dengan menguak hal-hal privasi justru tak ada hubungannya dengan sistem pemerintahan. Dan terlebih lagi ketika beberapa pejabatmu tak ada yang memihakmu”
“mungkin karna kau tak mencoba terbuka pada para pejabatmu itu ?”
“bukan aku tak ingin memberitahu mereka, tapi karna aku ingin mereka terbebani dengan hal ini. Aku ingin memikulnya sendiri sampai waktunya tiba untuk semuanya terungkap. Aku justru tak terima dengan mereka yang selalu saja mengurusi hal-hal privasiku. Aku hanya mencoba profesional pada lingkunganku. Jadi bagiku hal privasi tidak ada hubungannya dengan sistem kerajaan”
“lalu, apa yang akan lakukan sekarang ?”
“aku akan memilih untuk meninggalkan semuanya”
“ha...jika begitu kau pengecut dan tak bertanggung jawab”
“apa ??? aku pengecut, tidak aku bukan pengecut. Aku hanya tak ingin tinggal dalam penjara kemunafikan dan menghamba pada pragmatisme pribadi dan kelompokku. Aku tak bertanggung jawab ??? tidak, untuk saat ini aku memilih memikirkan diriku sendiri. Aku tidak ingin lagi menjalani dan berjuang untuk orang lain”
“aku bukan perempuan bodoh dan tidak beriman, sekalipun semua menganggapku salah, tak masalah bagiku asalkan aku tak pernah salah di hadapan Tuhan. Karna aku hanya takut pada tuhan, bukan pada yang lain”.
Begitulah perjumpaan singkat kami, dan kami melanjutkan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Yah dia peremuan tegar yang pernah kulihat. Tidak pernah sekalipun aku melihatnya bersedih setelah malam itu. Bahkan di hari-hari setelah kami memutuskan menjadi sepasang kekasih, aku selalu melihat senyumnya. Walaupun dia sedikit protektif padaku, aku menganggapnya karakter karna dia memang tipe orang selalu ingin melihat orang-orang di sekitarnya baik-baik saja. Dan tanpa ku sadari hatiku telah terusik olehnya, hingga aku sadar bahwa aku benar-benar mencintainya.
***
17:35 wita
Kring....kring..kring....
“yah halo”
“kenapa kau belum tiba”
“iya kebetulan ada senior yang mau ke makassar jadi aku memilih menumpang di mobilnya saja”
“tapi bukankah kau telah berjanji untuk menemaniku ke taman”
“iya, tapi setelah bertemu dengan temaku tadi. Aku lelah”
“kau lelah, apa kau tidak tau aku juga disini lelah menunggumu”
“tenanglah, aku akan menepati janjiku”
“aku tak bisa percaya padamu lagi, dari sekian banyak janji yang pernah kau ucapkan untukku. Pernahkah kau berpikir untuk menepatinya ?, tidak, tidak ada satupun janjimu yang pernah kau tepati. Tapi untuk hari aku hanya ingin kau menepatinya, hanya menemaniku saja ke taman tempat pertama kali kita bertemu”
Janji, yah janji. Mungkin aku memang lelaki yang gemar berjanji tapi tak pernah berpikir untuk menepatinya. Bukan,,,aku selalu berusaha untu memikirkannya. Tapi selalu saja aku tersandung oleh aktivitas lembaga. Yah sejak menjadi pemimpin stuktur di lembaga lima bulan yang lalu aku tak begitu lagi menghiraukannya, bahkan kami tak pernah lagi pergi bersama. Bertemu dengannya pun paling lama sejam, tapi aku selalu menyempatkan diri untuk mengirim pesan padanya tentang makan, shalat, keadaannya. Dia terlalu banyak menuntut padaku, padahal posisi ini tak boleh ku abaikan begitu saja, ini untuk masa depanku.
“tapi kau harus mengerti tentang posisiku saat ini”
“aku harus mengerti posisimu di lembagamu ? lalu apakah aku tak boleh menuntutmu mengerti posisiku di hatimu ?”
“tenanglah, posisimu tak kan terganti dengan siapapun. Percayalah itu”
“tidakkah kau sadari jika aku telah tergantikan di hatimu, saat ini yang bersemayam di hatimu adalah ketamakan, obsesi dan kekayaan. Jika pun aku tergantikan oleh perempuan lain, aku tak kan merasa sakit karna aku bisa yakin kau adalah kau yang dulu. Tapi jika ketamakan pada jabatan dan harta yang menggantikanku, tahukah kau kalau aku terluka. Aku hanya butuh kau ada di sisiku saat ini”
Aku memutuskan sambungan telponnya. Seakan aku tak sanggup lagi mendengar kata-katanya. Aku akui saat ini aku memang begitu tamak. Tapi bukankah ini hal yang bisa membuat orang-orang menghargai dan segan padaku. Dan kelak bisa memberikan masa depan yang cerah untukku.
***
18:56 wita
Kring..kring....kring.....
Kring....kring...kring....
Kring...kring....kring...
Entah apa lagi tuntutannya kali ini.
“yah....saya masih di jalan. Tidak bisakah kau menunggu sebentar lagi” suara ku meninggi
“maaf, apakah anda kenal dengan pemilik no ini ?” suara seorang laki-laki menyanaiku melalui ponselnya.
“iya, ini siapa ?”
“...........................”
Brak.. ponselku terjatuh berhamburan. Tanganku bergetar. Dadaku terasa sesak.
***
21:35 wita
          Aku berlari menuju ruangan itu, ruangan yang disebutkan oleh penelpon tadi. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Yah aku ingin memastikan dia baik-baik saja dan bergegas mengajaknya ke taman.
Langkahku tertatih memasuki ruangan ICU, aku tak sadar air mataku begitu deras bercucuran. Ini tidak mungkin, yang ada dihadapanku kin hanyalah sebuah jasad berlumuran darah. Aku berusaha mebuka mulutnya, yah aku akan memberinya nafas agar dia bisa kembali bernafas. tapi tidak, dia tak lagi bergerak....
seorang polisi menghampiriku
“dia mengalami kecelakaan di daerah katangka, menurut warga dia terjatuh dengan sendiri saat mengendarai motor, dan ini tas milik dia”
Aku meraih tas kecil berwarna ungun yang setahun lalu kubeli untuknya, dia selalu saja memakai tas itu kemanapun.
Seandainya subuh tadi aku tetap berdiri menunggu angkutan, seandainya siang tadi aku menolak ajakan teman lamaku, seandainya tadi sore aku menolak menumpang pada senior,....seandainya...seandainya...
Tahukah kau saat terakhir kau menelponku, aku sudah memutuskan untuk meninggalkan posisiku dan kembali bersamamu lagi seperti dulu. Kenapa kau tak bisa menunggu lagi, harusnya kau membiarkanku untuk menepati satu janjiku ini.
Maafkan aku yang terlambat....

Minasa Upa, juni 2013

SENANDUNG RINDU


kabut putih mulai menyelimuti, seakan dia ingin menyapu debu kotor yang sejak tadi pagi menjadi hiasan kota ini. Mulai menyelimuti dari sudut taman di belakang rumahku. Dia pun sepertinya ingin menyapu debu-debu kotor yang menempel di rimbunan bunga lili. Hanya saja sepertinya bunga lili tak menginginkan dia datang, tak ingin dia menyapu debu-debu yang menempel di helai daunnya, batang bahkan di ujung putiknya. Bunga lili menutup kuncupnya, bergetar kedinginan meliukkan tangkainya.

“mengapa kau datang di sore ini, ketika aku sedang asyik bercengkrama dengan seekor kupu-kupu ?” tanya bunga lili pada kabut yang menyelimutinya.

Sejak siang bunga lili tengah asyik bercengkrama dengan seekor kupu-kupu berwarna jingga. Mengitarinya sambil bersenandung tentang rindu.

“aku hanya ingin sedikit membersihkan debu-debu kotor yang menempel di tubuhmu, agar kau dapat memancarkan kilau kelembutanmu lagi pada setiap mata yang memandang ke arahmu”

“tapi engkau telah membuat kupu-kupu itu pergi membawa senandung rinduku, yang entah kapan dia akan datang kembali”

Kabut itu ternyata tak hanya menyapu debu tapi membuat kupu-kupu itu pergi meninggalkan bunga lili, meninggalkan cerita tentang rindu yang belum selesai dan membawa senandung rindu bunga lili terbang dengan ke dua sayapnya. Mungkin sang kupu-kupu tak mampu menahan dinginnya kabut yang menyelimuti taman. Mungkin kupu-kupu takut kedua sayapnya akan membeku, ataukah mungkin kupu-kupu hanya ingin bersenandung berdua dengan bunga lili. Kupu-kupu tak ingin kabut tahu tentang senandung mereka.

“bukankah aku juga mampu bersenandung denganmu ?”, sang kabut mulai menawarkan dirinya pada bunga lili, yang sedari tadi tak ingin menatapnya.
tapi senandung rinduku hanya satu, dan kini hilang bersama kupu-kupu itu”
“lalu apa yang harus kulakukan saat ini ?”
“bisakah engkau mencari kupu-kupu itu, dan membawa senandung rinduku kembali bersamaku ?”
Kabut mulai beranjak dari taman itu, dan bertiup ke arah utara, barat, selatan dan timur hanya sekedar untuk mencari kupu-kupu itu. Ah bukan kupu-kupu itu tapi senandung rindu yang terbawa bersamanya. Dia ingin merampas senandung rindu itu, agar kelak dialah yang menemani bunga lili bersenandung tentang rindu.
Di utara kabut membuat jalan di sebuah kota kecil tak tampak. Kendaraan yang sedari tadi lalu lalang kini mulai berjalan pelan membuat jalan macet. Caci dan maki mulai tumpah ruah di penjuru jalan. Mengumpat sang kabut yang menghalangi pandangan mereka. Semua marah dan kecewa pada kabut yang datang tiba-tiba di sore itu ketika mereka lelah setelah seharian beraktivitas untuk bertahan hidup. Tapi kabut tak peduli, dia hanya ingin menemukan kupu-kupu itu.
Di selatan kabut membuat awan di atas sebuah peternakan hewan menitikkan air, membuat ternak berlarian tanpa arah. Bukankah mereka takut pada gemericik hujan, mereka takut pada dinginnya kabut. Para peternak pun ikut berlarian mengejar ternak-ternak yang berlarian meninggalkan halaman rumput tempat mereka mengisi lambung. Para peternak pun ikut mengumpat kabut yang datang tiba-tiba. Tapi kabut tak peduli, dia hanya ingin menemukan kupu-kupu itu.
Di barat kabut menyelimuti lautan tempat para pelaut mencari ikan. Kabut membuat pelaut kehilangan arah karna penglihatan mereka tertutupi. Pelaut tak mendapatkan hasil apa-apa, bahkan tak tau arah pulang. Pelaut pun mengumpat kabut yang datang tiba-tiba yang membuat mereka kehilangan mata pencaharian di sore itu. Tapi kabut tak peduli, dia hanya ingin menemukan kupu-kupu itu.  
Di timur, kabut menutupi terjalnya tebing yang sementara di lalui oleh para pendaki. Mebuat mereka bergetar kedinginan dan tak bisa menatap jalan ke depan yang akan mereka lalui. Tapi mereka tak mengumpat kabut, bahkan mereka terlihat tetap tenang dan seakan menikmati kabut itu. Mungkin mereka tau mengapa kabut datang tiba-tiba. Kabut tetap bergerak mencari kupu-kupu itu.
Tapi kabut tak kunjung menemukan kupu-kupu itu, sementara matahari mulai beranjak dari peraduannya. Senja pun mulai menghampiri. Kabut pun mulai takut bunga lili marah padanya karna tak mampu membawa senandung rindu itu kembali padanya. Kabut kecewa tak bisa bersenandung bersama bunga lili.
Akhirnya kabut mulai bergerak kembali ke taman belakang rumahku, menemui bunga lili yang mungkin sudah lelah menunggunya. Berusaha merangkai kata yang akan dijadikan puisi untuk menghibur bunga lili agar tak kecewa padanya.
Senandung rindu itu tak tampak olehku
Senandung rindu itu tak tau arahnya
Senandung rindu itu tak mampu ku gapai
Tapi izinkanlah aku merangkai nada yang baru
Yang pun akan bersenandung tentang rindu
Rindu yang kelak membuatmu tetap terlihat putih kemilau
Rindu yang kelak membuat setiap mata yang menatap terpukau
Rindu yang kelak tak akan pergi darimu
Karna senandung rindu itu akulah yang membawanya
Akulah yang merangkainya
Dan aku akan tetap menyelimuti di pagi, siang, sore, dan malam
Sampai kau jenuh denganku...............
Kabut mulai menghampiri bunga lili di tamanku, tapi tak sampai padanya. Kabut tiba-tiba terdiam tak bergerak, rangkaian bait puisi yang di buatnya kini di hempas jauh. Kabut kecewa.
Dari jauh kabut melihat bunga lili kembali merekahkan kuncupnya, tertawa tanpa menghiraukan kabut. Bunga lili kembali asyik bercengkrama dengan kupu-kupu jingga yang mengitarinya sambil bersenandung tentang rindu. Ah ternyata bunga lili sengaja memintanya kabut pergi jauh agar dia dapat kembali berduaan saja dengan kupu-kupu jingga itu
Kabut kecewa, dan bergerak meninggalkan taman kembali menyelimuti segala penjuru dan kali ini kabut semakin mepertebal dirinya. Tidak hanya membuat mahkluk bumi mengumpatnya tapi membuat mereka akhirnya kedinginan. Kabut memanggil awan, angin, udara dan mengajak mereka menghiasi segala penjuru denganamarahnya.
Kini tak ada lagi senandung rindu tapi yang ada hanyalah senandung amarah. (di utara, puluhan kendaraan mengalami kecelakaan karna jalan licin dan kabut tebal. Di selatan, peternak mengalami kerugian karna bebrapa hewan ternak hilang. Di barat beberapa pelaut hilang di tengah lautan. Di timur tiga orang pendaki pun di nyatakan hilang)
Tapi kali ini bunga lili yang tak peduli, dan tetap saja asyik bersenandung dengan kupu-kupu.
(aku tak peduli dengan perasaan yang lain, aku hanya peduli dengan perasaanku. Karna yang menjalani hidup adalah diriku bukan yang lain)

Malino, Desember 2012