Rabu, 05 Februari 2014

AKU, DIA DAN MEREKA


Aku terdiam tak mampu bicara ketika kata-kata dari mulutnya mulai masuk mengalir ke gendang telingaku bahkan menembus saraf sensorik ku sehingga membuatku terpaku. Tak pernah kubayangkan dia mengucapkannya, tepat dihadapanku setelah sekian lama kami berjuang bersama. Apakah aku yang terlalu banyak ingin tau dan bertanya sehingga membuatnya harus mengeluarkan kata-kata itu.
Lama kutertunduk dihadapannya, berusaha mengolah kata-kata itu, aku ingin kata-kata itu hanya sampai ditelinga dan sarafku saja tapi entah kenapa kata-kata itu masuk menembus hati, jantung bahkan paru-paruku yang membuatku sulit untuk bernafas beberapa detik. Apakah aku yang terlalu banyak ingin tau dan bertanya sehingga membuatnya harus mengeluarkan kata-kata itu.
Dia bergegas memasukkan buku ke dalam tas ranselnya, dan pergi dengan tergopoh-gopoh tanpa menghiraukanku. Tanpa bertanya tentang bagaimana perasaanku setelah mendengar kata-katanya. Bahkan tanpa meminta izin dariku.Apakah aku yang terlalu banyak ingin tau dan bertanya sehingga membuatnya harus mengeluarkan kata-kata itu.
“maaf kanda, semua peserta sudah berkumpul. Silahkan masuk ke forum dan memulai ceramahnya”, tiba-tiba seseorang memegang pundakku dan menghentikan tatapanku ke arahnya.
“iya, sebentar lagi saya akan masuk. Siapkan saja air minumnya yah”
“kalau rokok kanda, rokok apa ?”
“classmild saja dan cukup sebungkus”, aku mulai mencoba untuk melupakan kata-kata itu agar dapat konsentrasi membawakan ceramah.
Aku bukan tergolong perokok berat tapi entah kenapa aku tak mampu berceramah tanpa menghisap rokok. Dua bahkan tiga bungkus tak cukup untukku berceramah selama dua jam, tapi hari ini aku mencoba lebih irit. Karna kondisi panitia training yang memiliki banyak beban finansial yang harus di tanggung.
Aku berjalan dengan santai memasuki ruangan, memulai ceramah dengan syahadat dan shalawat tapi tidak memperkenalkan diri. Kebiasaanku memang yang memperkenalkan diri di akhir ceramah. Aku hanya tak ingin peserta konsentrasi atau tidak pada ceramahku hanya karna aku ini siapa.
“baik kawan-kawan pada kesempatan ini saya akan membawakan ceramah KEMERDEKAAN DAN KEHARUSAN UNIVERSAL, Jadi selama saya berceramah jika teman-teman ingin bertanya langsung saja yah. Mari kita berdiskusi. Sepakat ?”
“sepakat kanda,”suara riuh terdengar ke penjuru ruangan training.
Kemerdekaan dan keharusan universal. Suatu sub materi yang sebenarnya tak mudah di jadikan bahan ceramah. Apalagi berbicara kemerdekaan, mengerti tentang teori mungkin saja tapi mengaplikasikannya pastilah sulit. Ah bukan sulit tapi tak bisa, inilah yang berlaku dalam lembaga ku geluti.
Haruskah mengikuti kaum jabariah yang menganggap kebebasan itu tidak ada yang ada hanyalah takdir. Atau mungkin memilih kaum mu’tazillah yang mengingkari takdir karna menganggap manusia telah dibekali akal dan kekuatan. Tidak kedua-duanya menurutku, karna ada takdir dan ikhtiar dalam hidup ini. Sedangkan takdir pun ada takdir taqwini yakni takdir yang menggariskan manusia memilki jodoh, reski bahkan kematian. Sedangkan takdir tasyrii yakni takdir yang menggariskan manusia memilki kebebasan mencari siapa jodohnya, berapa banyak reskinya dan bagaiman kematiannya. Taqwini adalah keharusan sedangkan tasyrii adalah kemerdekaan. Ini menurut pemahamanku.
Dua jam berlalu, aku menghentikan ceramahku sekalipun pembahasan belum selesai. Pembahasan tentang manusia memang tak pernah selesai dibicarakan. Tiba-tiba kata-kata itu kembali merongrong memoriku, kenapa ia tidak saja bertengger di gendang telingaku. Kenapa harus memasuki seluruh tubuhku. Apakah aku yang terlalu banyak ingin tau dan bertanya sehingga membuatnya harus mengeluarkan kata-kata itu.
****
aku berjalan meninggalkan ruangan training, meninggalkan peserta yang masih terlihat kebingungan. Mungkin mereka tak mampu memahami kata-kata ilmiah yang ku ucapkan ataukah penasaran pada sosok ku yang tak sempat memperkenalkan diri. Bukankah itu tak penting.
Aku kembali merebahkan tubuhku ke sofa yang tadi ku duduki ketika dia mengeluarkan kata-kataku itu. Kenangan tentangnya mulai menghinggapi lamunanku.
Perempuan ini memang cukup cerdas dan energik bagiku, walaupun aku baru saja mengenalnya ketika harus berpasangan pada lembaga ini. Memang ada keharusan secara de facto dan de jure adanya keterwakilan perempuan pada lembaga. Yah aku juga menganggapnya berguna bahkan sangat berguna. Mereka mampu berdiri brdampingan dengan kami lelaki setiap momen apapun, berbicara tentang masa depan dan kepentingan. Walaupun kadang aku menginginkan mereka cukup menjadi seksi pendanaan, konsumsi atau kesehatan. Tapi tidak, mereka betul-betul melampaui hal itu bahkan melampaui kami yang membuat mereka lebih terima dalam kancah dinamika organisasi. Mungkin benar kata saciko murata bahwa kelembutan perempuan merupakan kekuatannya.
Hanya saja ada yang tak biasa dalam lembaga ini, kami lelaki harus bertikai yang pada akhirnya menghasilkan dua garis struktural. Entah siapa yang ingin membuat dinasti baru, tapi mereka tidak. Mereka tetap satu dan aku bersyukur mereka memilihku dari awal. Kami bersama mereka berusaha menembus caci maki dan cercaan senior-senior dan pihak lawan, untuk membuktikan eksistensi kami. Bahwa kami lebih baik dari mereka. Bahwa kami lebih selaras dan saling memahami.
Namun seminggu yang lalu kepergiannya ke pertemuan itu membuat semua nampak berubah. Memang aku tak mengizinkannya pergi bukan karna keterbatasan finansial tapi karna aku tak ingin dia mengetahui ketakutanku, mengetahui apa yang ku sembunyikan pada mereka dan dia. Aku ingin mereka dan dia tau pada saat kami nantinya tercepit dan tak punya lagi harapan. Karna saat ini kami masih punya harapan, walaupun hanya sedikit yang mungkin sebentar akan hilang juga. Ah.........
Untuk itulah beberap jam lalu aku memberanikan dirinya bertanya pada dia tentang semua informasi yang dia dapatkan.
“ jadi hasil apa yang kau dapatkan dari sana ?”, aku mulai bertanya dengan nada yang rendah
“untuk kami sudah tidak ada masalah kanda, bagaimana dengan kanda sendiri ? kenapa tidak pernah memceritakan pada kami tentang semua ini ?”
“Tentang apa ?”
Akhirnya dia menceritakan dengan detil semua informasi yang dia dapatkan. Dan aku akui tak ada yang salah.
“lalu apa yang kanda akan lakukan ?”, dia mulai menatapku menjurus sambil berbicara dengan gayanya yang biasa.
“aku tak tau harus bagaimana lagi ? sepertinya sudah tidak ada lagi jalan karna mereka sepertinya tak meninginkan kita”
“kita ???kalian kanda”
“lalu bagaimana denganmu, apakah kau atau kalian akan tetap berjuang bersama aku dan kami ?”
“haruskah aku menjawabnya sekarang?”
“iya”
Beberapa menit dia terdiam, aku hanya mengatakan dia karna hanya dia yang ada dihadapanku kali ini. Tapi aku tau dia adalah wakil dari mereka.
“jika berbicara tentang janji dan kesetiaan, aku tak mungkin mengingkarinya. Tapi janji dan kesetian itu adalah pribadiku bukan kami. Jadi maafkanlah aku tak bisa menetapi janji dan tetap setia padamu dan kalian karna lembaga ini bukan milikku pribadi tapi milik kami. Kami tak ingin berhenti berjuang sampai disini jika nantinya kau dan kalian terputus perjuangannya karna keterikatan konstitusi. Maaf kanda”,ucapnya lirih dengan mata yang berkaca.
Aku tak boleh komplain dengan kata-katanya, bukankah ini adalah aplikasi dari kemerdekaannya untuk memilih yang terbaik bagi masa depan mereka, dan merupakan keharusan mereka untuk tetap tunduk pada garis konstitusi.
Serasa ada ombak yang menerjang istana pasir yang telah kubangun untuknya dan mereka. Sebentar lagi istana itu rampung, tinggal pagar berhias bintang laut yang belum di buat. Kenapa mereka tidak menunggu istana itu rampung. Ah bukan mereka yang tak bisa menunggu tapi karna waktu yang menghendaki mereka untuk tidak menunggu.
Dia bergegas memasukkan buku ke dalam tas ranselnya, dan pergi dengan tergopoh-gopoh tanpa menghiraukanku. Tanpa bertanya tentang bagaimana perasaanku setelah mendengar kata-katanya. Bahkan tanpa meminta izin dariku.Apakah aku yang terlalu banyak ingin tau dan bertanya sehingga membuatnya harus mengeluarkan kata-kata itu.


Bogor, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar