Rabu, 05 Februari 2014

LUKISAN KATA MAAF, DI LANGIT SENJA WATAMPONE


Langit suram menyambut kedatanganku di bumi aru palakka. Hari itu, saya memutuskan untuk berangkat bersama dua orang temanku. Yah salah satu dari mereka, adalah pemuda asli kota ini, hanya saja rumahnya sangat jauh dari lokasi survey yang di rekomendasikan padaku. tempat menginap, makan dan bagaimana mencari data, itulah yang selalu terngiang di benakku selama perjalanan hari itu. Bahkan kondisi buruk mulai menghantui pikiranku, tapi selalu saja kucoba untuk menepis semuanya.
15.30 wita, kota watampone menyambutku, yah masih dengan langit suramnya. Saat itu pula, aku berpisah dengan kedua temanku yang juga bergegas ke lokasi survey mereka masing-masing. Kami para seurveyor yang berjumlah 44 orang, memang tak ada yang satu lokasi. Masing-masing memiliki lokasi desa/lurahnya sendiri. Seperti di kabupaten bone, ada sepuluh desa yang menjadi tujuan kami, dengan sepuluh surveyor tapi semuanya berbeda desa bahkan berbeda kecamatan.
Kurebahkan tubuhku di pelataran masjid, kupandangi langit-langit masjid setelah usai mendirikan shalat ashar. Terpikir olehku, mungkin disini sajalah nantinya aku menginap. Lalu perlahan ku amati map yang berisi lembaran kertas kuesioner, dan kulirik jam di dinding masjid. Waktu masih menunjukkan jam 15.40 wita, sepertinya masih ada sedikit waktu untukku mulai mencari data di kelurahan sebelum jam kerja habis.
Seketika itu juga aku bergegas, mencari alamat kantor kelurahan berharap bisa bertemu pak lurah dan meminta data warganya. Setidaknya esok hari, aku bisa langsung mewawancarai warga yang terpilih acak. Tapi alhasil, di kelurahan tak ada siapapun. Harapanku mendapat data hari itu, pupus. Aku memutuskan kembali ke masjid tadi, membersihkan diri dan mencari pengisi perut.
Kota yang begitu asing bagiku, tapi tak sulit mencari tempat makan. Karna lokasiku ini merupakan ibukota kabupaten. Sungguh nikmat sekali rasanya menyantap makanan hari itu, bukan karna makanannya mewah tapi karna inilah makanan pertama yang kusantap dari hasil keringatku sendiri. Di rumah makan itu, ternyata ada fasilitas wifi-nya. Kuputuskan untuk online facebook sejenak, sekedar mencari tau bagaimana keadaan teman-teman lainnya di daerahnya masing-masing. Tapi tak ada satupun status dari mereka yang kudapati tentang keadaannya. Ah mungkin saja di lokasi mereka tak ada wifi, atau mungkin saja mereka sedang beristirahat.
Jam 21.00 penjaga warung memperingatiku kalo warung akan tutup. Aku akhirnya memutuskan kembali ke masjid tadi, untuk beristirahat sambil menunggu fajar datang. Kurebahkan tubuhku di lantai masjid, setidaknya di masjid  lumayan hangat dan nyaman. Tapi baru saja hendak memejamkan mata, seorang laki-laki paruh baya menghampiriku dan memberitahuku kalau di masjid ini, orang di larang tidur. Aku jadi heran, kenapa ada saja peraturan seperti itu. Bukankah masjid adalah tempat umum, bahkan tempat bagi para mushafir beristirahat. Tanpa berpikir panjang, aku bergegas keluar ke teras masjid.
Akhirnya malam itu, aku tidur di teras masjid. Dinginnya malam dan kelip bintang menemani tubuhku yang kelelahan. Tiba-tiba saja aku teringat pada ayah dan ibuku di kampung.
“ibu, malam ini bintang begitu indah berkelip, dingin begitu menyeruak tapi tak menyakiti. Nyamuk pun tak lelah berdendang. Aku sendiri tanpa teman, namun aku tak merasa kesepian. Ibu, maaf jika tak memberitahumu tentang jalanku ini, aku takut kau khawatir denganku dan melarangku. Ini bukanlah pekerjaan yang hina ibu, setidaknya aku masih bisa mencari sesuap nasi dengan tenagaku sendiri. Tidak seperti kebanyakan yang hanya bisa meminta dan meminta. Aku tau ibu, tujuanku di kota Makassar adalah untuk kuliah, tapi taukah kau ibu, ada banyak waktu senggang yang bisa ku gunakan untuk mencari tau tentang kehidupan yang sebenarnya. Ayah, hari ini aku baru menyadari betapa sulitnya kau mencari nafkah untuk keluargamu. Berjejal dengan waktu dan keadaan yang terkadang tak sesuai keinginan”
Malam semakin dingin, kudekap tasku erat sekedar menambah kehangatan. Tiba-tiba saja kurasakan senyuman ayah dan ibuku dari kejauhan. Hingga aku terlelap dalam tidurku.
***
Langit cerah, menemani hariku saat itu. Sepertinya cuaca bersahabat denganku. Setelah mandi, aku bergegas kembali ke kantor kelurahan mengambil data. Jam sudah menunjuk ke angka 9 lewat tapi belum satupun staf yang ada di kantor. Budaya birokrasi yang sudah mendarah daging, yaitu terlambat. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya beberapa staf mulai berdatangan, dan salah seorang dari mereka kemudian memberiku data yang kuinginkan. Setelah mendapatkan data kepala keluarga yang harus ku wawancari, aku kemudian bergegas mencari alamat mereka.
Sangat bervariasi orang yang kuwawancarai hari itu. Ada seorang kakek yang tidak tau berbahasa Indonesia, sedangkan aku yang juga tak tau bahasa bugis. Untung saja ada anaknya yang bisa membantuku menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan. Ada pula ibu paruh baya yang pendengarannya terganggu, alhasil aku harus bertanya dengan suara yang keras agar dia bisa mendengarnya. Beberapa responden juga ada acuh padaku. sepertinya di mata mereka, aku ini tak lebih dari pencari data yang tak sepintar mereka. Tapi tak apa, aku tetap bersemangat mengerjakan itu semua.
Siang menjelang sore, aku memutuskan kembali ke masjid tempatku beristirahat. Tapi kemampuan ingatanku untuk menghafal jalan terganggu, sampai akhirnya aku di tilang polisi karna melewati jalur yang salah. 100 ribu rupiah berpindah ke tangan polisi. Hufft, seharusnya dia mengerti padaku yang tidak tau jalan, tapi yah begitulah cara orang mencari makan yang berbeda-beda. Mungkin saja uang itu untuk makan atau jajan anaknya. Tak apalah menurutku, yang penting aku masih bisa melanjutkan pekerjaanku itu.
***
Malam kedua di bumi aru palakka, aku kembali merebahkan tubuhku di teras masjid. Tapi entah kenapa aku mulai gelisah dan tak bisa memejamkan mata. Akhirnya aku mengirim pesan pada salah seorang teman kelasku yang juga orang bone, mungkin saja dia punya teman yang ada di lokasi surveiku saat itu. Tak lama kemudian, ARISPAN teman dari temanku datang menjemputku dan mengajakku ke rumah kosnya yang tak begitu jauh dari tempatku. Akhirnya malam itu, aku bisa tidur dengan nyenyak.
Keesokan harinya, kembali aku memulai pekerjaan yang kemarin sedikit tertunda. Satu persatu rumah responden kudatangi, mewawancarai mereka. hingga senja menghampiri, pekerjaanku pun selesai. Dan saat itu pula aku memutuskan kembali ke Makassar namun mampir dulu di tempat armand, Libureng.
Sejenak kutatap senja di kota ini, merah jingganya begitu merona. Pasti ku akan sangat rindu padanya. Aku mulai tersadar, bahwa bukan seberapa banyak honor yang akan kudapatkan dari pekerjaanku ini. Tapi ada banyak hal yang begitu berharga yang mungkin tak bisa kudapatkan di waktu yang lain. Bertemu dengan orang-orang baru, mencoba memahami karakter mereka agar mereka bersedia di wawancarai. Dingin malam, di tempat asing, tanpa tempat tinggal dan tanpa teman. Bukankan di luar sana banyak saudara kita yang bernasib sama.
Aku sadar, bagaimana perjuangan orang tua mencari makan dan biaya pendidikan yang layak bagiku bukanlah hal mudah. Mereka yang menfasilitasiku dengan sepeda motor, terkadang aku mengeluh dengan kondisi sepeda motorku yang tidak bagus lagi. Lampunya yang selalu tak berfungsi. Aku yang selalu memaksa dikirimi uang untuk membeli baju yang bagus, hp yang bagus, laptop dan semuanya. Tapi senja hari itu, memberitahuku, bahwa hidup ini tak semudah ketika kau meminta.
Ayah dan ibu, ingin rasanya langit senja hari itu melukiskan kata maafku padamu. Kata maaf karna tak pernah menyadari bahwa senyum dan kata meng”iya’kan setiap permintaanku sungguh tak mudah. Ayah, ibu kalian tetap yang terindah di dalam hatiku, selalu dan selamanya.
Senja itu pun menghantar perjalanan pulangku ke kota daeng, Makassar. Aku pulang membawa senyuman, membawa cerita dan menyimpan rindu pada ayah, ibu dan senja di bumi watampone.

Makassar, januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar