Rabu, 05 Februari 2014

KUPU-KUPU HITAM UNTUK HAYRAN


Embun pagi menetes di telapak tangan hayran pagi itu, terasa dingin namun tak membuat hayran bergegas dari tempatnya berdiri. Dia tetap saja menengadahkan tangannya ke langit, seakan dia meminta sesuatu dari langit. Yah itu adalah aktivitas rutinnya setiap pagi. Di pagi buta dia bergegas bangun dan berlari menuju taman di halaman belakang sambil menengadahkan tangannya ke langit. Dan setiap pagi itu pula dia memakai baju ungu yang dua tahun lalu diberi oleh ayahnya. Baginya aktivitas wajib setiap pagi bukanlah menggosok gigi ataupun sarapan tapi berlari ke taman, menengadahkan tangan dan berputar menyisir taman. Berpindah dari sudut yang satu ke sudut yang lain. Berharap dia dapat menemukan keinginannya.
Sejak ayahnya meninggal karna leukimia dua tahun lalu, sejak itu pula hayran melewati paginya dengan aktivitas itu, berharap apa yang dia inginkan bisa hadir di pagi itu.
“ucapkanlah setiap keinginanmu di malam hari setiap kali kau akan tidur, dan yakinlah di pagi hari keinginanmu akan terkabul”, kata-kata sang ayah selalu menjadi landasan aktivitasnya itu . Kadang dia berpikir bahwa maksud sang ayah agar dapat tidur lebih cepat dan bangun lebih cepat pula. Tapi dia berpikir bahwa tak semestinya sang ayah memberinya pesan yang sebenarnya lebih pantas untuk anak usia delapan tahun ke bawah. Sedangkan dirinya yang sudah menginjak dua puluh tahun, menganggap itu adalah kenyataan.
Pernah suatu ketika di malam hari ketika dia akan tertidur, dia meminta agar esok harinya dosen mata kuliah hukum perdatanya tak mesti hadir, karna dia ingin berjalan-jalan bersama ayahnya ke salah satu objek wisata di kotanya yang terkenal dengan keindahan kupu-kupunya. Yah bantimurung, setiapa sebulan sekali sang ayah selalu mengajaknya ketempat itu. Alhasil ke esokan harinya sang dosen tak hadir karna mengalami kecelakaan tragis yang mengakibatnya nyawa hilang. Ternyata bukan hari itu saja sang dosen tak masuk tapi untuk hari-hari selanjutnya.
Hayran tak merasa berkabung, justru dia merasa senang karna hari itu adalah hari terakhir di bulan mei dan hampir saja hari di bulan mei habis tapi dia tak sempat ke bantimurung. Padahal dia telah menulis dalam agendanya bahwa sebulan sekali dia wajib ke tempat itu bersama sang ayah. Memandangi kupu-kupu sambil mendengarkan alunan melodi biola yang dimainkan oleh sang ayah.
“non hayran sarapannya sudah siap, apa mau di makan sekarang. Takutnya nasi gorengnya dingin”, teriakan pembantu membuyarkan lamunannya.
“iya, amma. Saya segera kesana”
Dia berjalan perlahan memasuki rumah, di ruang tengah tepatnya di meja makan telah tersedia sepiring nasi goreng dan segelas susu. Dia menyantapnya dengan perlahan. Tak lama kenudian muncul seorang perempuan paruh baya duduk tepat di depannya.
“hari ini tidak ada kuliah ? bagaimana organisasinya, apakah kegiatan yang ingin kau buat lagi”, perempuan paruh baya itu mulai bicara. Perempuan itu adalah bundanya, seorang anggota parlemen di ibu kota provinsinya. Namanya cukup terkenal dimana-mana sebagai aktivis perempuan yang gentol menyuarakan suara-suara perempuan yang terdiskriminasi.
“ada bunda, setelah sarapan hayran siap-siap. Untuk kegiatan, hayran ingin membuat pelatihan cara bermain biola. Supaya perempuan-perempuan juga punya jiwa seni bunda”, ucapnya dengan penuh semangat.
“bermain biola ?, organisasimu itu bergerak di bidang pendampingan masalah-masalah perempuan. Bukan jamannya lagi kita berseni tapi memperhatikan nasib perempuan-perempuan di wilayah kita “
Hayran di percaya ibunya bergabung di sebuah organisasi perempuan yang cukup terkenal di wilayahnya. Sebenarnya organisasi ini tak hanya bergerak di pendampingan saja tapi juga pemberdayaan jadi tak masalah jika hayran sebagai salah satu anggotanya menginginkan hal itu.
Dia memang gadis yang dikenal enerjik dan berkarisma. Kemampuannya berkomunikasi dengan baik dan santun diakui banyak orang. Kecerdasannya yang mampu berteori tentang masalah-masalah perempuan pun tak diragukan bahkan kecantikan yang menurun dari bundanya membuat banyak lak-laki yang tertarik padanya. Tapi tak satupun yang hayran hiraukan. Baginya laki-laki yang baik hanyalah ayahnya.
“tapi bunda bukankah dengan seni justru perempuan-perempuan bisa lebih berkarya lagi. Mereka bisa di kenal dengan karyanya. Dari pada melakukan aksi demonstrasi, mendampingi perempuan yang berkasus. Banyak juga bunda yang mereka sendiri yang salah, mereka mengalami pelecehan karna terlalu larut malam pulangnya. Atau berpakaian terlalu seksi, atau memakai aksesoris terlalu mencolok, atau meladeni laki-laki tanpa batas, atau…….
“atau apa lagi, ha ??? sekarang yang penting adalah nama…nama… kau harus rajin melakukan pendampingan agar namamu bisa masuk media. Dan itu cikal bakal kau bisa duduk di parlemen. Bukan berdiam diri di taman sambil menggesek biola yang tidak memberikan keuntungan apa-apa”, tegas bundanya memotong pendapatnya
Hayran tertunduk dan menghentikan suapannya. Sang bunda pun demikian dan berdiri meninggalkan meja makan. Meninggalkan hayran tanpa menyapa. Meninggalkan pendapat hayran yang belum selesai.
“seni juga menguntungkan bunda, dia mampu menyejukkan jiwa. Karna seni hanya mampu di rasakan oleh hati bukan oleh pikiran bunda, itu kata ayah”, ucapnya sambil meneteskkan air mata, sekalipun sang bunda tak lagi ada di hadapnnya.
Dia pun berdiri meninggalkan kursi tempatnya duduk dan menuju kamarnya di lantai atas. Di raihnya biola pemberian ayahnya dan bergegas ke taman belakang.
If tomorrow never come”, lagu yang selalu dimainkan dengan biolanya. Setiap kali dia memainkan biolanya, dia membayangkan sedang berada di sebuah taman yang di penuhi ribuan tangkai bunga melati, kupu-kupu beterbangan kesana kemari. Seakan taman itu hanya miliknya dan ayahnya.
Tiba-tiba dawai biolanya putus, membuat lamunannya buyar. Dia tersentak dan terkejut, dia menangis, dia kecewa. Tiba-tiba sosok bundanya muncul lagi menghapus bayangan ayahnya.
“bunda tak suka kau bermain biola, bukankah kau harus kuliah. Kau harus menyelesaikan sarjana hukummu. Itu bisa jadi loncatanmu lagi untuk berkarir. Lihatlah bunda, semua yang bunda lakukan untuk kita. Bunda tak mau orang mencemooh kita dan menganggap kita tak mampu hidup setelah ayahmu meninggal tanpa mewariskan apa-apa”, nada bundanya mulai meninggi.
“tapi ayah mewariskan dalam darahku jiwa seni bunda, hayran sudah lelah dengan aktivitas seperti itu. Untuk apa hayran berguna dan menenangkan hati orang lain jika hayran sendiri tak mampu untuk itu bunda”.
“hayran, dulu di usia sepertimu bunda tak mampu berkarir sepertimu karna keterbatasan ekonomi. Dan sekarang bunda ingin kamu tetap berkarir dan membuat nama,,.,nama,,nama dimana-mana. Bunda sayang hayran”
Hayran menatap menjurus kearah bundanya
“tapi hayran tak sayang sama bunda”, ucapanya lirih, dia kemudian berlari sambil memegang biolanya menjauhi bundanya. Menyetop sebuah taksi di depan rumahnya. Menunjukkan jalan pada sopir ke arah taman itu. Bantimurung
Bantimurung masih terlihat ramai di siang itu, gerombolan pengunjung memadati di setiap sudutnya. Hayran berjalan pelan ke arah sebuah tebing yang sepi di atas aliran air terjun. Dia berdiri tepaku menengadahkan tangannya ke langit. Untuk kesekian kalinya di mengucapkan permintaan yang setiap malam dia ucapkan dan setiap pagi dia menunggu untuk dikabulkan sejak dua tahun lalu.  Dia berucap lirih.
“ayah, kirimkan padaku kupu-kupu hitam yang pernah hinggap di biola ayah sebelum ayah pergi”.
Seekor kupu-kupu hitam berwarna hitam pekat menghampiri tangannya, dan kemudian terbang ke arah puncak tebing. Hayran mengikutinya, terus..dan terus sambil berlari pelan. Menembus semua asa yang pernah di rajutnya, menembus semua waktu yang telah dilaluinya, menembus semua langkah yang telah di jejakinya dan menembus semua rasa yang telah di resapinya.
Kupu-kupu itu berhenti di tepi bukit dan terbang ke bawah mengikuti aliran air terjun bantimurung dan hayran pun mengikutinya. Dia serasa terbang sambil mengepakkan sayapnya, terbang bersama kupu-kupu hitam yang menghinggapinya. Meninggalkan biola yang sudah tak berdawai lagi. Meninggalkan mimpi-mimpi bundanya. Meninggalkan program kerja organisasinya. Meninggalkan hidangan yang setiap hari disuguhkan pembantunya. Meninggalkan perempuan-perempuan korban pelecehan. Meninggalkan rasa cinta laki-laki yang tak pernah dia hiraukan. Meninggalkan semuanya. Dia hanya yakin bahwa dia akan bersama kembali dengan ayahnya di taman dan bermain biola melantunkan lagu if tomorrow never come bersama.
****
Keesokan harinya sebuah mayat di temukan terapung di kolam aliran air terjun bantimurung. Mayat itu terlihat bersih. Mayat itu tersenyum. Mayat itu dikerumuni kupu-kupu, karna mayat itu adalah hayran.

Bulukumba, Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar